SELAMAT DATANG DI BLOG PERUSAHAAN PT. NUSA INFO BLOG-SPOT Tbk.

Senin, 07 November 2011

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah

1. Pendahuluan
Dalam Laporan Tahunan 1999/2000 (World Development Report 1999/2000: 1-5),
Bank Dunia mengemukakan terdapatnya perubahan-perubahan di dunia sampai pada
gerakan yang memberikan kontribusi pada dan sebagai manifestasi dari dua gejala, yaitu
globalisasi dan lokalisasi. Khusus mengenai aspek lokalisasi yang mencerminkan
tumbuhnya hasrat yang lebih besar dari penduduk setempat untuk lebih banyak turut
bersuara dalam pemerintahan, mewujudkannya dalam bentuk tuntutan akan identitas
daerah. Hal ini mendorong pemerintah nasional untuk memberikan desentralisasi yang
luas kepada pemerintah daerah dan kota sebagai cara yang terbaik untuk mengatur dan
menangani perubahan-perubahan yang mempengaruhi politik domestik dan pola
pertumbuhan.
Pada kedua tingkat, baik yang melampaui batas negara maupun pada tingkat subnasional
kelembagaan pemerintahan, negosiasi, koordinasi dan pengaturan akan
memegang peranan yang kritis dalam memperbaiki keseimbangan baru antarnegara
maupun di dalam masing-masing negara, dan dalam mendorong terciptanya lingkungan
yang stabil yang memungkinkan implementasi program-program pembangunan,
nasional maupun daerah.
Dalam hubungan ini, lokalisasi dipandang tepat untuk menaikkan tingkat
partisipasi masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan dan untuk memberikan
kesempatan yang lebih besar ke pada rakyat untuk membentuk keadaan kehidupan
mereka sendiri yang lebih baik. Dengan mendesentralisasikan pemerintahan akan
menjadikan banyak pengambilan keputusan dibuat pada tingkat-tingkat sub-nasional,
lebih dekat pada para pemilih, dan terciptanya pemerintahan yang responsif dan efisien.
Namun demikian gerakan lokalisasi itu juga dapat membahayakan stabilitas
makroekonomi. Misalnya, pemerintah setempat yang melakukan pinjaman (daerah)
dalam jumlah yang besar dan melakukan pengeluaran dengan tidak bijaksana, yang
mungkin telah memperoleh jaminan sebelumnya dari pemerintah pusat.
Sehubungan dengan perkembangan dan gerakan lokalisasi tersebut di atas, maka
tampak adanya gerakan dan kecenderungan pada banyak negara di dunia ke arah
pemerintahan dengan sistem otonomi daerah disertai dengan desentralisasi wewenang
dan tanggung jawab yang dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pada daerah
bawahannya. Bahkan gerakan dan gejala perjuangan daerah atau negara bagian ke arah
otonomi daerah itu lebih lanjut berkembang menjadi gerakan disintegrasi negara dan
bangsa seperti yang terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia, Chekoslovakia, dan lain-lain. Di
Indonesia juga selain perjuangan dan gerakan ke arah otonomi daerah yang luas dan
bertanggung jawab itu pada tahun-tahun belakangan ini berkembang pula menjadi
tuntutan disintegrasi bangsa dengan memperjuangkan kemerdekaan bagi wilayahnya,
* Prof. Drs. Rustian Kamaluddin, sekarang Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, adalah
Mantan Ketua Bappeda Propinsi Sumatra Barat.
lepas dari negara kesatuan Republik Indonesia, seperti yang terjadi di Timor Timur,
Aceh, Irian Jaya, dan Riau.
Pada beberapa tahun belakangan ini, sebagai akibat dari perkembangan dan
gerakan tersebut di atas, baik yang terjadi di luar negeri maupun yang di tanah air, telah
lebih membuka mata dan hati para pemimpin bangsa dan perwakilan rakyat kita untuk
memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Ini antara
lain tercermin pertama-tama dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelengaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sebagai kelanjutannya
kemudian diundangkan dan disahkan dua Undang-undang yaitu UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 4 Mei 1999 dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada tanggal 19 Mei 1999,
yang menurut rencananya pelaksanaan UU ini akan dilakukan sepenuhnya pada tahun
2001.
Dengan demikian, otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dan ini dilaksanakan sesuai dengan prinsipprinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan
keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Kondisi Hasil Pembangunan dan Terjadinya Ketimpangan Antardaerah
Aspek “keadilan dan pemerataan” dapat ditinjau berdasarkan hubungan
interpersonal, namun dapat pula ditinjau menurut perbandingan antardaerah (Raksaka
Mahi, 2000). Dalam hubungan ini, yang menjadi pertanyaan apakah distribusi
pendapatan antarindividu atau kelompok anggota masyarakat relatif sudah adil dan
merata ataukah semakin timpang. Dan antardaerah bagaimana distribusi pendapatan
(dan pembangunan) yang terjadi apakah semakin merata ataukah dalam kondisi yang
timpang/ semakin timpang antardaerah dalam lingkup nasional.
Berdasarkan data Neraca SNSE Indonesia 1999 (BPS, 2000), misalnya, tampak
bahwa perbedaan tingkat pendapatan kelompok yang “terkaya” dalam masyarakat
dengan kelompok “termiskin” relatif tinggi dan makin meningkat. Dari data yang ada
itu tampaknya salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya peningkatan
perbedaan pendapatan antarkelompok masyarakat ini adalah kepemilikan aset,
khususnya modal. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok yang terkaya
menguasai aset produktif permodalan yang jauh lebih besar. Dan dari sekitar 60%
pendapatan yang dihasilkan dan dimiliki masyarakat pada dasarnya berasal dari
pendapatan yang berhubungan dengan permodalan.
Dalam hubungan dengan ketimpangan pendapatan ditinjau secara interpersonal di
Indonesia dalam periode 1981-1996 dengan ukuran Rasio Gini ternyata bahwa
pemerataan distribusi pendapatan masyarakat tidaklah dalam posisi yang baik, tetapi
sudah termasuk dalam kategori yang moderat meskipun masih pada angka yang relatif
masih rendah (lihat Tabel 1). Dan diperkirakan angka Rasio Gini tersebut cenderung
agak semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan ini.

Sumber : Rasio Gini 1981-1993 dari Hal Hill: Transformasi Ekonomi Indonesia: Sejak 1966,
PAU-UGM bekerja sama dengan PT Tiara Wacana Yogya, September 1996. Dan Rasio
Gini 1995&1996 dari World Development Report, 1998/99 & 2000.
Catatan : Indeks Williamson (Vw) 1981,1984 dan 1987 dari makalah Syafrizal, “Pertumbuhan
Ekonomi Wilayah Indonesia Barat” dalam Prisma, No.3-1997, (yang tahun dasar 1983)
dan Vw 1993-1997 dihitung sendiri dengan tahun dasar 1993, dengan catatan angkaangka
tahun 1981-1990 disesuaikan dengan perhitungan tahun dasar 1993.
Ukuran ketimpangan pendapatan yang lebih penting lagi untuk menganalisis
seberapa besarnya kesenjangan antarwilayah/daerah adalah dengan melalui perhitungan
indeks Williamson. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per
kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah dengan rumus :
Σ i (Yi – Y)2 fi /n
Vw = , yaitu 0<1
Y
di mana: Vw = indeks Williamson
Yi= pendapatan per kapita di propinsi ke i
Y = pendapatan per kapita rata-rata seluruh propinsi
fi = jumlah penduduk di propinsi i
n = jumlah penduduk nasional Indonesia
Ini berarti bahwa pada dasarnya indeks Williamson merupakan koefisien
persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan
estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk daerah-daerah yang berada pada lingkup
wilayah yang dikaji dan dianalisis.
Menurut Syafrizal (1997:33), jika dibandingkan dengan apa yang dialami oleh
negara-negara lain di dunia, ternyata segi pemerataan pembangunan antarwilayah di
Indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagaimana yang dikutipnya dari yang diungkapkan
oleh Hendra Esmara (BIES, Vol XI, No 1, 1975: 41-47) bahwa angka Indeks
Ketimpangan Regional di Indonesia pada periode analisisnya bergerak antara 0,4 dan
0,5 ternyata berada di atas rata-rata yang dialami oleh kebanyakan negara berkembang
lainnya, dengan catatan hanya Brasil, Puerto Rico, Filipina dan Columbia sebagai
negara berkembang yang mendekati keadaan Indonesia. Sedangkan ketimpangan
pendapatan antarregional pada negara-negara maju seperti yang diungkpkan oleh Uppal
dan Budiono (EKI, Vol XXXV, No.3, 1988 : 285-304) pada umumnya jauh lebih kecil,
yaitu yang bergerak antara 0,1 dan 0,3.
Ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia sebagaimana yang tampak
pada tabel 1 tersebut (dengan tahun dasar 1993) pada periode 1981-1997 dengan ukuran
indeks Williamson terletak antara 0,602-0,752, sehingga ketimpangan pendapatan
antardaerah di Indonesia adalah sangat tinggi, dan bahkan cenderung agak meningkat
pula. Memang pada tahun-tahun tertentu, angka-angkanya berfluktuasi naik turun
selama periode yang dianalisis tersebut. Tapi jika dilihat secara menyeluruh telah terjadi
kecenderungan peningkatan indeks ketimpangan tersebut sebesar 0,150 dari tahun 1981
(0,602) ke tahun (0,752).
Ketidakadilan dan ketimpangan antardaerah itu juga dapat dianalisis dengan
meninjau besarnya peranan PDRB (dengan migas) per propinsi. Pada tabel 2 khususnya
pada tahun 1998, yang tidak begitu beda dengan tahun 1995 dan tahun-tahun lainnya,
dapat dilihat besarnya peranan atau kontribusi masing-masing daerah propinsi dalam
pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional menurut harga berlaku. Pada
kolom ke 5 tabel tersebut terlihat peranan PDRB masing-masing propinsi (dalam
persentase) berurutan dari yang terbesar hingga terkecil. Propinsi-propinsi yang kaya
akan SDA ternyata memang memberikan kontribusi yang besar dan menepati urutan
yang cukup tinggi, seperti Kalimantan Timur (5,95% ke 4), Riau (4,73% ke 7), Aceh
(2,77% ke 9) dan Papua (2,14% ke 12). Lihat lebih lanjut tabel 2 berikut:

Catatan : Data 1998 diurut dari yang terbesar hingga terkecil
Dengan demikian, banyak di antara daerah-daerah propinsi tersebut di atas seperti
Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papua (Irian Jaya), telah memberikan kontribusi
yang cukup besar dalam pembentukan PDB nasional. Dan disamping itu dari hasil
SDA-nya (seperti dari pertambangan minyak, gas alam cair, emas-tembaga, dan
sebagainya) juga telah memberikan kontribusi yang besar dalam pemasukan keuangan
negara. Namun di lain pihak, pada umumnya daerah dan masyarakat setempat hidup
dalam kondisi daerah dan masyarakat yang terus terbelakang dan dalam kemiskinan,
yang relatif lebih buruk daripada yang terdapat pada daerah-daerah lainnya, lebih-lebih
lagi kalau dibandingkan dengan yang terdapat di pulau Jawa.
3. Alokasi Dana Pembangunan Untuk Daerah-daerah
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa sebagai salah satu sumber
utama yang menyebabkan kesenjangan atau peningkatan perbedaan pendapatan baik
interpersonal maupun antardaerah adalah dari segi kepemilikan atau perolehan faktor
produksi khususnya permodalan. Dan khusus mengenai permodalan bagi daerah untuk
investasi dan pembangunannya, di samping dari sumber daerah sendiri serta sumber
penanaman modal dalam negeri dan asing, terutama adalah berasal dari sumber dana
pemerintah atau melalui pengaturan alokasi penganggarannya.
Dengan rencana akan diberlakukannya pada tahun 2001 dua buah UU yaitu
tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, maka akan terjadi perubahan yang besar dalam alokasi anggaran untuk daerahdaerah
otonom. Dengan adanya peruntukan bagian hasil daerah dari SDA (sektor-sektor
pertambangan, kehutanan dan perikanan) yang baru, di samping peruntukan bagian hasil
daerah yang telah ada sebelumnya, maka diperkirakan daerah-daerah tertetu yang
memiliki SDA yang besar akan beroleh alokasi dana yang jauh lebih besar daripada
sebelumnya. Sedangkan daerah-daerah lainnya diperkirakan akan beroleh alokasi dana
yang kira-kira tetap saja, bahkan mungkin bisa relatif lebih kecil dari pada sebelumnya.
Sebagai ilustrasi, dalam periode peralihan menuju ke pada pelaksanaan UU
Perimbangan Keuangan tersebut yang telah memasukkan untuk perimbangan pusatdaerah
sebagai bahan pertimbangan untuk alokasi dana pembangunan, pertama-tama
dapat dilihat perimbangan antara anggaran (secara totalitas) yang dikelola oleh daerah
dan yang dikelola oleh instansi pusat. Dalam hubungan ini dapat dilihat bagaimana
perimbangan masing-masing, tentang pengeluaran pembangunan, dalam tabel 3 berikut
ini.

Dalam tabel 3 di muka tampak bahwa jumlah anggaran tahun 2000 dibandingkan
dengan tahun 1999/2000 masing-masing untuk 9 bulan telah menurun sebesar 40%,
namun anggaran yang dikelola daerah telah ditingkatkan sebesar 25,2% dan anggaran
yang dikelola pemerintah pusat diturunkan sebesar 29,8%. Sehingga bagian anggaran
yang dikelola daerah telah meningkat porsinya dari 30,8% (1999/2000) menjadi 64,8%
(2000), sedangkan anggaran yang dikelola oleh instansi pusat tidak berapa besar
bedanya, yaitu 29,6% (1999/2000) dan 35,2% (2000), dengan catatan anggaran untuk
subsidi dan restrukturisasi perbankan yang pada tahun 1999/2000 sebesar 39,4%, maka
pada tahun 2000 anggaran yang serupa tidak disediakan lagi.
Selanjutnya dalam alokasi dana pembangunan daerah telah digeserkan anggaran
yang jauh lebih besar ke daerah-daerah yang kaya SDA-nya yang selama ini
memberikan kontribusi yang besar dalam penerimaan dalam negeri pemerintah pusat,
namun beroleh alokasi anggaran yang relatif jauh lebih sedikit. Perubahan dan
pergeseran alokasi dana pembangunan daerah yang lebih banyak ditingkatkan ke arah
daerah-daerah yang “beruntung” sesuai menurut UU Perimbangan Keuangan yang baru
itu dapat kita lihat sebagai ilustrasi dalam tabel 4 yang berikut.
Dari tabel 4 di belakang tampak bahwa daerah-daerah propinsi Aceh, Riau,
Kalimantan Timur dan Irian Jaya (Papua) pada tahun 2000 (9 bulan) dibandingkan
dengan tahun 1999/2000 (juga 9 bulan) memperoleh alokasi anggaran pembangunan
daerah masing-masing meningkat 53,1% (Aceh), 64,4% (Riau), 52,6% (Kalimantan
Timur) dan 21,0% (Irian Jaya atau Papua).
Sesuai dengan aspirasi dan tuntutan rakyat setempat, maka kebijakan alokasi
anggaran pengeluaran pembangunan tersebut telah diupayakan oleh pemerintah pusat ke
arah keadilan dan pemerataan dalam alokasi anggaran dengan memperhatikan UU
Perimbangan Keuangan yang baru tersebut. Kecuali dua daerah propinsi, yaitu
Nusatenggara Timur (yang menerima pengungsi Timtim dan mendapat musibah alam)
serta Maluku (yang dalam kerusuhan dan huru hara), maka hanya ke empat daerah
Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya (Papua) yang mengalami kenaikan
anggaran pembangunannya pada tahun anggaran 2000 ini. Daerah-daerah propinsi
lainnya relatif mengalami penurunan dalam anggaran pengeluaran pembangunannya.
Dengan demikian kebijakan alokasi anggaran yang relatif meningkat besar ke arah
daerah-daerah yang memiliki potensi SDM yang besar dan menguntungkan akan
banyak merubah kemampuan daerah yang bersangkutan untuk membangun. Namun
kondisi ini perlu diimbangi dengan dana perimbangan khususnya melalui dana alokasi
umum (DAU), terutama bagi daerah yang miskin SDA dan potensi sumber pendapatan
daerahnya agar jangan timbul nantinya kesenjangan yang baru. Sehingga selain aspek
keadilan dan pemerataan dalam sumber pembiayaan pembangunan juga diharapkan
kemajuan dan pembangunan akan berjalan dengan berimbang antar daerah, sehingga
ketimpangan pendapatan (dan pembangunan) akan menjadi semakin berkurang, dalam
arti akan terjadi pemerataan antar daerah dalam pembangunan dan hasil-hasilnya.
)
A. Perenc, Pemantauan,
Evaluasi &
Pelaporan 252.804 190.213
B. Dana Pendamping
Proyek Berpinjaman - 269.086
Luar Negeri
C. Dana Penanggulangan
Kerusuhan
& Bencana Alam 108.000
Total 13.226.895 12.546.782 (5,14)
Sumber : Kompas, Sabtu 22 Januari 2000
Catatan : a) Jumlah Dana Pembangunan Propinsi, Dana Pembangunan Kab/Kota,
Dana Pembangunan Desa serta Dana JPS dan Penanggulangan
Kemiskinan pada masing-masing Propinsi.
- Tanda dalam kurung menunjukkan negatif
4. Perimbangan Keuangan: Ketentuan dan Prospek
Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan UU No.25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka
pemerintah suatu negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yaitu fungsifungsi
alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi antara lain meliputi sumbersumber
ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi
meliputi antara lain, pendapatan dan kekayan masyarakat, pemerataan pembangunan.
Dan fungsi stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan, ekonomi dan
moneter.
Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan
oleh pemerintah pusat. Sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena Pemda pada umumnya lebih mengetahui
kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu
diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda pada masing-masing wilayah.
Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi tersebut adalah sangat penting sebagai
landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah secara jelas dan tegas.
Sumber-sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan
keuangan tersebut dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
perbantuan. Khusus sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi adalah
terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah dan lainlain
penerimaan yang sah. PAD merupakan sumber keuangan dari dalam wilayah
daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
Selanjutnya dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari:
(1) bagian daerah dari penerimaan PBB, BPHTB dan penerimaan dari SDA, disingkat
saja sebagai bagi hasil pusat-daerah; (2) dana alokasi umum (DAU); dan (3) dana
alokasi khusus (DAK). Bagi hasil pusat-daerah terdiri dari bagian dana yang dapat
secara langsung dialokasikan sebagai bagian dari pendapatan daerah, yaitu pajak bumi
dan bangunan (PBB) 90%, Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 80%,
hasil pertambangan minyak bumi 15%, hasil pertambangan gas alam 30%, hasil
perikanan 80% dan dana reboisasi 40%. Bagi hasil pusat-daerah ini merupakan sumber
penerimaan yang pada dasarnya tergantung pada potensi daerah penghasil.
Disamping itu, dana alokasi umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan
pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi,
jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan
antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dan
formula umum untuk pengalokasiannya adalah: DAU daerah i = (bobot daerah i/total
bobot daerah seluruh Indonesia) x total DAU, dengan catatan total dana DAU yang akan
dialokasikan sudah ditetapkan, yaitu minimal 22,5% dari penerimaan dalam negeri
untuk semua kabupaten/kota dan 2,5% dari penerimaan dalam negeri untuk semua
propinsi. Sedangkan dana alokasi khusus (DAK) bertujuan untuk membantu membiayai
kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Disamping itu bertujuan untuk menanggulangi
keadaan mendesak di daerah, seperti bencana alam, kepada daerah dapat dialokasikan
dana darurat.
Dengan demikian adanya dana perimbangan yang meliputi bagi hasil pusatdaerah,
dana alokasi umum dan dana alokasi khusus itu mencerminkan upaya dan asas
keadilan perimbangan antara pusat dan daerah, disamping upaya dan asas pemerataan
alokasi dana untuk berbagai kegiatan dan pembangunan di Daerah-daerah.
Dalam makalahnya, Raksaka Mahi (2000:5) berpendapat bahwa tampaknya PAD
masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi
dalam rangka otonomi daerah, disebabkan antara lain karena: (a) relatif masih
rendahnya basis pajak dan retribusi daerah; (b) perannya masih tergolong kecil dalam
total penerimaan daerah; (c) kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih
rendah; dan (d) kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan daerah masih
lemah sehingga banyak terjadi kebocoran dan penyelewengan. Sehubungan dengan itu,
dengan masih berlakunya UU No. 18/1997 yang antara lain membatasi pemungutan
pajak/retribusi tertentu saja merupakan hambatan yang cukup berarti bagi daerah untuk
meningkatkan PAD-nya. Untuk dapat meningkatkan kemampuan sumber keuangan
daerah dari PAD ini selain perlu memperluas basis dan jenis pungutannya, maka perlu
peningkatan dan pengembangan di berbagai bidang dan aspek yang mengandung
kelemahan sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Selanjutnya dalam hal dana alokasi umum (DAU) sesuai ketentuan UU No.
25/1999 tentang perimbangan keuangan dapat dikemukakaan bahwa menurut hasil studi
sementara Bappenas (Kompas, 2 Maret 2000) penerimaan propinsi secara total akan
meningkat sebesar 17 persen. Berdasarkan penerimaan yang bersumber dari bagian
hasil daerah, maka empat propinsi mendapatkan kenaikan total penerimaan yang cukup
tinggi, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Sedangkan propinsi Papua
tidaklah akan meningkat begitu berarti seperti yang diduga semula, bahkan mungkin
tetap saja atau sedikit menurun.
Sedangkan mengenai penerimaan dana alokasi umum (DAU) menurut hasil studi
tersebut, terdapat tujuh propinsi yang mengalami kenaikan alokasi dananya dalam
jumlah yang cukup besar, yaitu : Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Propinsi-propinsi di Jawa dan propinsi
Sulawesi Selatan diuntungkan oleh kriteria yang berkaitan dengan penduduk, sedangkan
propinsi Papua diuntungkan oleh kriteria luas daerah dan kawasan lindung.
Jika digabungkan keduanya, yaitu total penerimaan dana yang bersumber dari
bagian hasil daerah dan dana alokasi umum, maka diperkirakan terdapat enam propinsi
yang penerimaan alokasi anggarannya naik dalam jumlah yang cukup besar, dengan
diberlakukannya UU No. 25/1999 tersebut (dibandingkan dengan yang sebelumnya,
yaitu: Aceh, Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.
Sedangkan dengan menggunakan formula yang sama, terdapat sembilan propinsi yang
penerimaan dananya relatif menurun, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu,
Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
dan Maluku.
Tentang pinjaman daerah dapat dikemukan bahwa selama ini, jumlah dana
(penerimaan) keuangan daerah yang berasal dari sumber ini relatif kecil sekali, yaitu
secara totalitas hanya 0,5% (propinsi) dan 1,1% (kabupaten/kota) sebagaimana yang
dikemukakan dalam makalah Jaka Sriyana (Jurnal Pembangunan Vol 4, No 1, 1999 :
102-13). Ini berarti bahwa pinjaman daerah itu baik dari dalam maupun dari luar negeri
dalam waktu dekat mendatang masih belum begitu dapat diharapkan dalam membiayai
pembangunan daerah. Bahkan jika dipaksakan dan ingin mengambil jalan pintas, untuk
mengisi kekurangan dana dalam membiayai pembangunan daerah sesegera mungkin,
dalam waktu dekat akan timbul penumpukan pinjaman daerah yang besar, yang
kemungkinan setelah sampainya saat jatuh tempo akan menimbulkan beban
pembayaran utang yang berat dan semakin besar, sebagaimana yang dialami pemerintah
pusat sejak beberapa tahun belakangan ini.
5. Kesimpulan dan Penutup
Dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 25/1999 tentang perimbangan
keuangan pusat-daerah, maka berarti isu dan tuntutan agar keadilan dan pemerataan
dalam dimensi daerah tampaknya telah mendapat perhatian besar dan diperkirakan akan
terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam hubungan keuangan pusat-daerah dan
antar daerah sendiri.
Agar semua penduduk dapat menikmati fasilitas publik dalam jumlah dan kualitas
yang sama dan berimbang, maka dengan desentralisasi urusan disertai dengan
desentralisasi pembiayaan yang berimbang akan memungkinkan daerah-daerah secara
demokratis menentukan dan mengatur sendiri berbagai jenis pelayanan dan
kebutuhannya tanpa tuntunan dari atas.
Disamping itu, pada satu pihak daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya
namun tidak dapat memanfaaatkan dan menikmaatinya, maka dengan berlakunya UU
tersebut akan mendapat bagian yang besar dari dana bagi hasil pajak dari SDA. Berarti
hal ini sudah memenuhi tuntutan daerah yang dirasakan sebagai ketidakadilan yang
semakin berkembang dan memunjak pada tahun-tahun belakangan ini.
Pada pihak lainnya, bagi daerah yang tidak memiliki atau miskin akan
sumberdaya alam, maka melalui dana alokasi umum yang merupakan bantuan dana dari
pusat akan dapat pula diciptakan pemerataan pembangunan antardaerah. Sehingga
daerah yang miskin SDA tersebut tetap dapat pula membangun dan berkembang seiring
dengan daerah-daerah lainnya yang berkembang cepat akibat “diuntungkan” oleh
adanya UU No. 25/1999 tersebut.
Namun demikian, menurut analisis Revrisond Baswir (Wacana Paradigma, Edisi
Perdana, Tahun I, September 1999) jumlah penerimaan negara yang akan dipungut
oleh/untuk pemerintah daerah akan meningkat dari 5% menjadi 15%. Sedangkan
dengan dialokasikannya minimal 25% penerimaaan dalam negeri sebagai bagian dari
belanja untuk pemerintah daerah, maka jumlah pengeluaran negara yang akan
dikeluarkan langsung oleh pusat merosot dari 80% menjadi sekitar 60%. Ini berarti
sukar sekali untuk diharapkan peningkatan dana alokasi umum dalam jumlah yang
besar. Sehingga kebijakan dan upaya ke arah pemerataan antardaerah dengan
mengalokasikan DAU diperkirakan kemampuannya akan terbatasi. Sehubungan dengan
itu mungkin perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan bagian penerimaan dalam
negeri untuk daerah menjadi lebih besar, misalnya minimal 35%, yang terutama
ditujukan untuk daerah-daerah miskin SDA dan potensi pendapatan daerahnya. Atau
jika tidak mungkin ditingkatkan besarnya DAU tersebut dalam jumlah dana yang
memadai, maka selain bobot daerah menurut UU No. 25/1999 bagi daerah miskin yang
minus tersebut perlu ditambahkan alokasi anggaran dari DAU dengan menambahkan
perhitungan bobot khusus lainnya.
Namun demikian, bagaimanapun juga pengembangan otonomi daerah dan
desentralisasi kewenangan dan urusan yang disertai dengan pendanaannya tersebut akan
dapat mengurangi ketidakadilan dan kesenjangan yang dirasakan daerah selama ini.
Disamping itu juga diharapkan akan semakin tumbuhnya peranserta aktif masyarakat
dalam proses pembangunan, serta akan semakin tumbuhnya inisiatif dan prakarsa
daerah dalam pembangunan.
Tentu saja ada kekurangan atau kelemahan tertentu dari UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tersebut, baik sebagai konsepsi maupun
dalam pelaksanaannya. Namun demikian, atas dasar berbagai pertimbangannya, UU
tersebut perlu dilaksanakan segera sesuai dengan maksud, tujuan sasaran dan
rencananya. Yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh adalah bahwa untuk
penyelenggaraannya perlu dipersiapkan dan distudi lebih lanjut sesegera sedemikian
rupa sehingga semaksimal mungkin dapat diciptakan efektifitas dan efisiensi dalam
pelaksanaannya􀂠
Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond, 1999. “Prospek Bisnis Otonomi Daerah”, dalam Wacana
Paradigma, Edisi Perdana Tahun I, September 1999.
Davey, Keneth, 1989., Hubungan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam
Nick Devas, dkk, Keuangan Pemerintah – Daerah di Indonesia. Jakarta: UIPress.
Depertemen Dalam Negeri., 1999., Undang-undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta:
Panca Usaha.
Depertemen Dalam Negeri., 1999., Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999
Pemerintah Daerah. Jakarta: Panca Usaha.
Depertemen Keuangan. Kajian Kebijaksanaan Fiskal. Vol. 1, No.2 November 1999.
Haeruman, Herman., Perencanaan Pembangunan dalam Otonomi Daerah yang Semakin
Luas. Buletin Tata Ruang. Agustus – September 1999. Jakarta: Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional.
Hill, Hal., 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis
dan Komprehensif. Yogya: Tiara Wacana.
Kompas. Dialokasikan Rp 15,139 Triliun untuk Daerah: Dana JPS Rp 2,8 Triliun.
Sabtu, 22 Januari 2000.
Kompas. “Jika Otonomi Daerah Diterapkan: Aceh, Riau, Kaltim dan Papua
Mudah-mudahan Jadi Makmur”. Kamis, 2 Maret 2000.
Kompas. Keuangan Pusat – Daerah : Potret Ketimpangan Ekonomi Gaya Orde
Baru. Senin, 22 Maret 2000.
Lay, Dornelis., Ketimpangan dan Keterbelakangan di Indonesia. Yokyakarta: Tiara
Wacana, Desember 1993.
Mahi, Raksaka. “Prospek Desntralisasi di Indonesia ditinjau dari Pemerataan antar
Daerah dan Peningkatan Efisiensi”. Jakarta: LPEM FEUI, November1998.
Morfit, Michael., 1993. “Meningkatkan Kemampuan Pemerintah Daerah: Pelaksanaan
dan Hambatan,” dalam Hubungan Pusat – Daerah Dalam Pembangunan.
Editor: Colin, MacAndrews. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafrizal. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian
Barat. Prisma No. 3 1977. Jakarta: LP3ES.
Simanjuntak, Robert.,. “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal”. Jakarta: LPEM
FEUI, Nopember 1998.
Sriyana, Jaka. “Hubungan Keuanga Pusat – Daerah, Reformasi Perpajakan dan
Kemandirian Pembiayaan Pembangunan Daerah”. Jurnal Ekonomi
Pembanguan. Vol 4 No 1, 1999, Yokyakarta: Fakultas Ekonomi UII.
Tjiptoherijanto, Prijono. “Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan”. Perencanaan
Pembangunan. Maret 1996, Jakarta: Unit Korpri Bappenas.
Yulaswati, Vivi., “Mencari Paradigma Baru Desentralisasi dan Otonomi Daerah”.
Simpul, No. 9, Agustus. 1999, Jakarta: OTO Bappenas.
World Bank. 2000. Entering the 21 st Century. World Development Report
1999/2000, New York : the World Bank.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar